Ray Harryhausen: Bergerak dan Tak Pernah Diam

Ray Harryhausen sering mengenang bagaimana film King Kong mengubah hidupnya. “Saya berusia tiga belas tahun, dan sejak itu saya tidak pernah sama lagi,” ujarnya tentang pengalaman menonton film King Kong tahun 1933 di Grauman’s Chinese Theatre. Peristiwa itu menjadi titik awal obsesinya untuk membawa makhluk-makhluk mitologi dan dunia khayalan ke layar lebar. Ia memuja Willis O’Brien, animator dalam film King Kong yang memelopori animasi stop-motion dan membentuk ulang lanskap efek visual dalam film.

Raymond Frederick Harryhausen adalah animator dan kreator efek visual asal Amerika-Inggris yang dianggap sebagai figur penting dalam sejarah efek visual sinematik sebelum era CGI (Computer Generated Imagery). Meskipun namanya tidak dikreditkan sebagai penulis atau sutradara dalam film-film fitur yang ia garap, namun perannya dalam menghidupkan makhluk-makhluk fantasi dalam film-film tersebut membuat ia layak disebut sebagai "auteur” di ranah efek visual sinema. 

Awalnya Harryhausen belajar sendiri teknik animasi model menggunakan peralatan pinjaman dan mantel bulu milik ibunya sebagai bahan percobaan. Kariernya dimulai ketika ia bekerja di film Mighty Joe Young dengan bimbingan dari Willis O’Brien langsung. Di proyek itu, ia mengerjakan lebih dari 90 persen bagian animasi, sambil mempelajari metode O’Brien yang menggunakan sketsa berkelanjutan setiap hari untuk merancang gerak dan ritme.

Film pertama yang ditangani Ray Harryhausen sebagai penanggung jawab penuh efek teknis adalah film horor monster The Beast from 20,000 Fathoms (1953). Pengalamannya bekerja di bawah Willis O’Brien memberinya bekal untuk mengembangkan teknik stop-motion lebih jauh. Karya Harryhausen menandai tonggak penting dalam evolusi teknologi dan estetika efek visual setelah periode efek praktikal awal (seperti miniatur dan matte painting) dan sebelum munculnya CGI. Ia bersama produser Charles H. Schneer memperkenalkan teknik yang disebut “Dynamation”, yang memungkinkan animasi stop-motion dan aksi langsung berpadu secara halus di dalam satu bingkai. 

Teknik “Dynamation” melibatkan pemisahan rekaman live-action menjadi dua komponen: latar depan dan latar belakang. Model animasi kemudian ditempatkan di antara dua komponen tersebut dalam tahap penyusunan. Untuk menggabungkannya, latar belakang diproyeksikan sebagai bagian belakang model dan direkam ulang bersama animasi, dengan area latar depan ditutup. Pada tahap kedua, hanya bagian latar depan direkam di area yang sebelumnya ditutupi. Dengan metode ini, objek animasi tampak hadir secara fisik di antara dua bagian adegan live-action, seolah berinteraksi langsung dengan lingkungan nyata. Sebagian besar efek gambar dalam film-film awalnya diciptakan melalui kontrol bingkai demi bingkai yang cermat menggunakan kaca difusi, sehingga memungkinkannya mencocokan elemen hidup dengan model secara lebih canggih daripada Willis O'Brien.

"Semuanya disejajarkan dengan mata melalui kamera," ujar Harryhausen dalam sebuah wawancara dengan The Times. Ia menjelaskan prosesnya seperti sebuah roti lapis. Setelah adegan live-action direkam, mereka memperkecilkannya dengan proyeksi agar sesuai dengan ukuran model makhluk buatannya. Setelahnya, ia menggerakan mahluk itu bingkai demi bingkai. Ia menyebut, meski ditemukan tahun 1950-an, temuannya tersebut dianggap menakjubkan. Sementara itu, di era di mana segala capaian efek visual kian mendekati realita, ia justru beranggapan skeptis. “Sekarang, dalam iklan berdurasi 30, Anda bisa menemukan hal-hal ajaib, tapi itu akan menjadi hal yang biasa saja.”

Harryhausen menjelaskan dalam proses pengambilan gambar stop-motion ia menggunakan kamera khusus dengan motor tipe tahun 1933 yang juga digunakan oleh Willis O'Brien. “Prinsip dasarnya tidak berubah, meskipun sekarang Anda bisa mendapatkan kamera saku yang jauh lebih kecil, dan motor yang jauh lebih andal yang bekerja dengan prinsip elektronik yang lebih sederhana,” ujarnya. Tantangan utamanya adalah bagaimana menyesuaikan eksposur antara satu bingkai dengan bingkai yang lain sehingga gambar yang dihasilkan terlihat halus dan konsisten. Selain itu ia sangat berhati-hati dengan perspektif, sebab dalam penggunaan proyeksi miniatur sangat sulit untuk membuat sisipan figur animasi bergerak mendekati dan menjauh dari kamera. Kecepatan bingkai juga harus diperhatikan untuk mencapai sinkronisasi gerakan live-action dengan figur-figur animasinya. “Semakin lebar gerakannya, semakin cepat model akan tampak bergerak. Hal ini menimbulkan masalah pengaturan waktu karena makhluk dan aktor Anda harus tampak difoto pada saat yang bersamaan.”

zoom-2
© The Ray and Diana Harryhausen Foundation. Photography: Sam Drake (National Galleries of Scotland)

Di samping temuan teknik “Dynamation”, Ray Harryhausen juga dikenal dengan aneka makhluk-makhluk mitologi, makhluk prasejarah, dan karakter-karakter dari dunia fantasi yang terus muncul hingga film terakhirnya, Clash of the Titans, pada tahun 1981. Ia cukup dikenal dengan cara kerja yang soliter di industri film saat itu. Ia bertanggung jawab merancang konsep makhluk-makhluk dalam filmnya sejak awal, lalu membangun dan menganimasikan ciptaannya.  Pada dasarnya, ia lebih tertarik pada cerita-cerita mitologi dan petualangan. Memilih legenda sebagai latar karena menawarkan kebebasan dalam merancang makhluk dan dunia. “Kau bisa percaya Sinbad bertarung melawan kerangka. Tapi kalau James Bond bertarung melawan kerangka, itu akan jadi konyol,” ujarnya.

Ia menyadari batasan teknis maupun mental dalam pekerjaannya. Teknik “Dynamation” cukup berhasil memotong anggaran produksi, meski harus dibayar dengan proses pembuatan yang panjang dan rumit. Bekerja sendiri selama berbulan-bulan di ruang gelap cukup melelahkan. Sementara orang-orang sudah menyelesaikan dua sampai tiga film, ia harus bergelut dalam satu produksi film yang panjang. Dalam sebuah wawancara dengan WIRED, ia menjelaskan bahwa pekerjaannya adalah profesi yang sepi.  “Kesepian itu, bersama frustrasi dan rasa sakit, selalu terbayar dengan rasa takjub ketika melihat makhluk-makhluk saya bergerak dalam realitas yang sama dengan manusia.” Ucapan itu menunjukkan bagaimana ia memandang animasi sebagai bentuk kerja kesabaran dan keyakinan.

Harryhausen wafat pada tahun 2013. Namun makhluk-makhluk rekaannya masih terus hidup. Mereka tidak hanya hidup dalam kenangan atau museum, tetapi juga dalam gagasan bahwa ketekunan, imajinasi, dan cerita yang kuat tetap relevan di tengah ledakan teknologi visual hari ini.

web-22
web-23
web-24
web-25
web-27
web-26
web-29
web-30
About the Author

Dhanurendra Pandji

Dhanurendra Pandji is an artist and art laborer based in Jakarta. He spends his free time doing photography, exploring historical contents on YouTube, and looking for odd objects at flea markets.