Memaknai Identitas Partisipatif HUT ke-80 RI karya Bram Patria Yoshugi

Pada 23 Juli lalu, Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan tema dan logo peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Istana Negara, Jakarta. Peluncuran ini merupakan awal dari rangkaian perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI dan menjawab rasa penasaran masyarakat terhadap “wajah” dari usia baru negara ini. Melanjutkan tradisi yang telah mengakar dari tahun-tahun sebelumnya, pemerintah menggandeng Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dalam mengembangkan identitas visual HUT ke-80 RI. ADGI pun memfasilitasi standar baku implementasi identitas visual ini untuk disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat, dari provinsi hingga RT/RW—membuka wawasan desain lebih luas bagi publik.

Mengusung tema “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”, identitas visual HUT ke-80 RI ini dirancang oleh Bram Patria Yoshugi dari ADGI Chapter Bandung. Grafis Masa Kini berbincang dengan Art Director di Thinking*Room ini untuk mengenal dan menggali lebih dalam soal identitas visual yang akan menjadi pemandangan mata yang familiar menuju perayaan HUT negara Indonesia.

Setelah sebelumnya melaksanakan sayembara tertutup hanya untuk anggotanya, ADGI tahun ini membuka kesempatan bagi masyarakat luas—siapa saja yang melaksanakan praktik desain—untuk mendaftarkan diri sebagai calon desainer identitas visual HUT RI. Momentum ini merupakan waktu yang tepat bagi Bram untuk berkontribusi, menyumbangkan gagasan desainnya untuk sebuah perayaan negara yang megah. “Gue sudah cukup berharap dapat kesempatan HUT RI dari lama karena ini bentuk perayaan desain grafis tahunan di mana semua orang bisa melihat suatu karya dan menilainya bersama-sama. Lalu, ini tahun pertama ADGI open call. Jadi, menurut gue ini kesempatan buat siapa saja untuk berpartisipasi dan gue pikir ini juga kesempatan buat gue ikut,” cerita Bram. Sempat dilanda khawatir akan tanggung jawab besar yang akan dibawanya, desainer lulusan Institut Teknologi Bandung ini tetap maju—membawakan ide versinya. Telah lama berkecimpung di industri desain grafis Indonesia, Bram melihat setiap tahunnya identitas HUT RI menjadi representasi zaman. Maka itu, ada dorongan di diri Bram untuk ikut mengambil bagian dalam sejarah. “Gue melihat setiap tahun tahun, setiap identitas visual ada semangat zaman dan perspektif dari desainernya. Itu menarik dan membuat gue ingin berkontribusi menyumbangkan identitas visual untuk HUT RI.”

Dari proposal awal hingga presentasi akhir, Bram mengikuti prosesnya selangkah demi selangkah—tentunya di bawah bimbingan kepengurusan ADGI Pusat. Menurutnya, rangkaian proses ini cukup ideal, walaupun tentunya ada tekanan waktu. Adapun tantangan yang dihadapi Bram adalah bagaimana ia dapat menyampaikan visinya, gagasannya, ke dalam sebuah identitas nasional yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Melepaskan ekspektasi—Bram mengawali proses ini dengan tidak ada pikiran untuk terpilih, yang ada hanyalah keinginan untuk memberikan yang terbaik.

Gagasan awal Bram dipantik oleh keresahan utamanya: bahwa identitas visual Hari Ulang Tahun Republik Indonesia harus bisa dekat dengan masyarakat. “Dalam artian, gue tidak mau identitas visual ini kompleks, penuh simbolisme, ‘kenegaraan’ banget, punya pemerintah, sakral. Buat gue, identitas visual ini harus bisa dirayakan oleh masyarakat secara luas.” Langkah pertama yang diambil Bram adalah mengumpulkan dokumentasi mural identitas visual HUT RI dari tahun ke tahun yang dapat ditemukan di gang perumahan, tembok di pinggir jalan, hingga gapura-gapura buatan rakyat. “Gue melihat sebenarnya sangat jarang identitas visual dirayakan oleh masyarakat sampai sebegininya—mereka bisa buat mural sendiri di gang rumah, bikin logo semirip mungkin dengan interpretasi mereka sendiri,” jelas Bram. Sang desainer menegaskan bahwa ada keterbatasan tersendiri dari rancangan grafis yang bagus tapi sulit diaplikasikan oleh masyarakat ke elemen keseharian. “Jadi, gue berangkat dari sana, dari pikiran bahwa gue ingin bisa membuat identitas yang bisa dirayakan banyak orang secara luas.”

Dengan latar ideasi yang begitu kuat, Bram mencoba mengawinkan gagasannya dengan tema dari pemerintah: “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”. Menurutnya, tema tersebut merupakan sesuatu yang sangat makro; maka harus diurai untuk melihatnya dari perspektif masyarakat—sesuatu yang mikro. “Makro itu visi negaranya, sedangkan mikro adalah apa yang dirasakan masyarakat. Dua ini bisa sangat berbeda, namun esensinya tetap sama,” papar Bram. “Ketika pemerintah bicara soal stabilitas negara, mungkin masyarakat inginnya hidup rukun, gotong royong, dan kedaulatan bagi kita mungkin bisa memilih cita-cita sendiri,” imbuhnya. Tak jarang Bram melihat spanduk-spanduk cantik sepanjang jalan besar, namun ketika diaplikasikan di gang-gang kecil, ada kesenjangan—kesulitan yang dirasakan masyarakat dalam menempatkannya, menyalinnya. “Gue ingin bikin yang bisa digunakan secara mudah. Gue berpikir bagaimana kita bisa menampilkan bentuk yang sederhana tetapi bisa merefleksikan makna dari tema tersebut.”

Lingkaran menjadi bentuk pertama yang dieksplorasi Bram dalam rancangan visualnya. “Sedari awal, gue ingin membawa rutenya menjadi jembatan untuk perspektif makro dan mikro. Gue juga ingin membuat identitas yang partisipatif–bisa diaplikasikan masyarakat,” tutur Bram. Berawal dari tiga lingkaran yang merepresentasikan angka 80, Bram ingin merancang sebuah simbol dengan bentuk yang kuat dan solid, namun di waktu yang bersamaan sangat sederhana, bisa dimengerti, direplika. Bagi pemerintah, simbol ini mampu menjadi kebanggaan; dan untuk masyarakat, simbol ini menjadi pengharapan.

Ada banyak rute yang dilalui Bram hingga menemukan bentuk identitas yang matang—dimulai dari sketsa bersama tim Thinking*Room, hingga memanfaatkan akrilik untuk menemukan kerangka bentuk yang ideal. Di setiap eksplorasinya, Bram selalu membawa prinsip “identitas partisipatif” di mana masyarakat bisa mengekspresikan bentuk identitas visual HUT RI versi mereka sendiri. “Di setiap prosesnya, gue tidak pernah lepas dari ‘identitas partisipatif’. Selalu ada pikiran gimana cara publik bisa berpartisipasi merayakan logo ini,” cerita Bram. Proses yang panjang dengan berbagai tekanan ini menjadi perjalanan yang menantang sekaligus menyenangkan bagi Bram. “Gue senang bisa berkreasi dengan limitasi, semakin strict framework yang ada, semakin senang eksplorasi konsepnya.” 

Meski desain identitas visual HUT ke-80 RI tampak sederhana, Bram menyadari bahwa kesederhanaan justru sering kali disalahartikan. “Ada anggapan, kalau hasil akhirnya simpel, berarti bikinnya juga gampang. Nyatanya, ada proses panjang yang sesuai standar industri,” jelasnya. Proses ini menuntut komitmen, disiplin, dan pertanggungjawaban, terutama ketika menyangkut identitas kenegaraan yang akan dilihat dan digunakan jutaan orang di berbagai pelosok Indonesia.

zoom-2

Tantangan lain muncul ketika identitas ini telah sampai di tangan masyarakat. Dalam hitungan menit, respons publik membanjiri media sosial, mulai dari kritik serius hingga lelucon dan meme. Bram melihat ini sebagai ekspresi publik yang justru menunjukkan tingkat keterlibatan yang tinggi. “Buat gue, ini bukti masyarakat kita sangat kreatif. Mereka merespons dengan cara mereka sendiri, bahkan kadang menunjukkan harapan yang tersembunyi dalam kritik mereka.” Alih-alih defensif, Bram memilih melihat dinamika ini sebagai perpanjangan dari konsep partisipatif yang sejak awal menjadi landasan desainnya. “Ini cara masyarakat merayakan–cara mereka menyampaikan sebenarnya bagi mereka, Indonesia gimana sih harusnya. Di dalam kritik itu juga ada harapan. (Identitas visual ini) menjadi sebuah wadah yang bisa kita gunakan bersama untuk menyuarakan pendapat. Itu menurut gue sangatlah berharga. Gue pun senang identitas ini bisa digunakan sedemikian rupa,” ungkap Bram.

Bram juga menyadari bahwa pendekatannya menjadi kontras dengan visual identitas HUT RI di tahun-tahun sebelumnya. Salah satu keputusan yang diambil Bram adalah menjauhi penggunaan supergrafik dan elemen dekoratif yang selama ini lazim, dan memilih mereduksi bentuk hingga esensial. Hal serupa juga terlihat dari pemilihan tipografi. Alih-alih menggunakan sans serif seperti tren tahun-tahun sebelumnya, Bram memilih pendekatan yang lebih subtle. “Gue pakai fon yang lebih condensed karena menurut gue, menjadi lugas enggak harus berarti ‘teriak’,” ujarnya. Setiap keputusan visual dalam desain ini merupakan hasil pertimbangan mendalam atas kemungkinan implementasinya oleh masyarakat luas.

Tentu, tidak semua orang langsung bisa menerima hal baru. “Gue paham bahwa sesuatu yang baru bisa terasa ‘mengganggu’. Tapi itu wajar. Reaksi manusia terhadap perubahan memang seperti itu,” ungkap Bram. Ia membandingkan dengan transisi desain logo-logo global yang dulu juga sempat menuai kontroversi, seperti logo Instagram. Bagi Bram, fase ini adalah masa untuk melihat sejauh mana identitas ini hidup dan tumbuh bersama masyarakat. Ia percaya bahwa makna dan kedekatan terhadap identitas ini tidak datang dari pemerintah atau desainer saja, melainkan dari cara masyarakat menggunakan, menafsirkan, dan merayakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana sejarah panjang desain identitas HUT RI yang selalu berubah mengikuti zaman, karya Bram Patria Yoshugi menjadi salah satu jejak visual yang menandai era baru. Dalam kesederhanaannya, tersimpan ruang bagi partisipasi, kritik, harapan, dan cinta terhadap Indonesia. Dan di situlah kekuatan desain itu tinggal; bukan hanya dalam bentuk, tapi dalam bagaimana ia dirayakan bersama.

web-23
web-24
web-25
web-26
web-27
web-28
web-29
web-30
web-31
About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.