Sang Maestro dan Materialitas: Amir Mahdi Moslehi dan Rangkaian Bentuk Nastaaliq
Tolok ukur keberhasilan sebuah typeface (jenis huruf) terletak pada kemampuannya untuk diproses secara otomatis oleh penggunanya. Ini berarti bentuk huruf harus dirancang agar komprehensif, terbaca, sederhana, dan yang paling penting, dapat digunakan oleh mereka yang berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa yang dilayaninya. Bagi pengguna huruf Latin, interaksi yang mulus ini adalah sesuatu yang default—sebuah privilese yang tertanam dalam arsitektur sistem komputasi yang sejak awal dibangun di atas bentuk huruf Latin. Sebaliknya, pengguna sistem penulisan non-Latin harus beradaptasi dengan ketersediaan jenis huruf yang minim, seringkali disederhanakan dan direduksi bentuknya. Hal ini mengungkapkan adanya bias yang tercantum dalam lingkungan digital kita, di mana software, desain huruf, dan lingkungan coding telah gagal membaca, mengenali, dan memahami nuansa dari sistem linguistik yang berbeda.
Keterbatasan struktural ini menjadi semakin nyata dalam kelangkaan jenis huruf digital yang berasal dari aksara tradisional seperti Nastaaliq — sebuah jenis huruf penting bagi para pembaca, penutur, dan penulis bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Berasal dari Iran pada abad ke-15, Nastaaliq dikenal sebagai “pengantin kaligrafi” karena keanggunan dan kerumitannya. Awalnya diciptakan untuk kepentingan estetika dan seni, Nastaaliq menjadi gaya yang dicintai dalam konteks Islam, sastra, dan puisi di seluruh Asia Barat Daya. Karakter skrip-nya yang mengalir dan harmonis (seringkali disebut memiliki ‘roh’) memberi kesan keindahan alami bagi siapa pun yang memandangnya. Namun, justru logika struktural yang unik inilah yang membuat Nastaaliq sulit untuk didigitalkan. Atefeh Mohammadi, Tooba Shahriar, dan Sareh Malaki mencatat bahwa fondasi kaligrafi Nastaaliq berbenturan dengan prinsip desain jenis huruf yang kaku dan modular. Amir Mahdi Moslehi mengkritik disonansi dari iterasi Nastaaliq digital terdahulu: “Kita tidak bisa menyebutnya sebagai proyek tipografi, karena penciptaannya diprakarsai oleh seorang insinyur perangkat lunak yang ingin membuat dan mendigitalkan fon Nastaaliq hanya berdasarkan sketsa kaligrafi yang tersedia tanpa menerapkan prinsip-prinsip dasar tipografi.”
Menyadari pentingnya materialitas—baik dalam kaligrafi maupun tipografi—merupakan hal mendasar dalam merancang dan mendigitalkan Nastaaliq dengan benar. Amir Mahdi Moslehi, yang memiliki latar belakang sebagai kaligrafer, memiliki posisi unik untuk mengambil tugas monumental ini dan mengembangkan interpretasinya sendiri terhadap skrip tersebut. Ketertarikannya pada desain huruf berawal dari hobi masa kecilnya memalsukan tanda tangan, di mana praktik menggambar ulang huruf dan bentuk membentuk pemahaman tubuhnya terhadap komposisi dan bentuk. Atas dorongan gurunya, Amir terus mendalami kaligrafi selama masa sekolahnya hingga akhirnya menyadari potensi lebih dalam dari “bakat”-nya tersebut. Hal ini membawanya untuk mempelajari arsitektur di universitas, di mana ia kemudian memulai eksplorasinya dalam desain grafis. Melalui eksperimen dan proyek-proyek berbasis komisi, Amir membangun fondasi pemahamannya terhadap prinsip-prinsip desain—menjembatani presisi berpikir arsitektural dengan kelenturan bentuk kaligrafi. Bagi Amir, kaligrafi dan desain bukanlah dua disiplin yang terpisah, melainkan sebuah kesinambungan. Ketika ditanya tentang hubungan keduanya, ia hanya berkata, “Itu masuk akal.”
Selama beberapa tahun terakhir dalam praktik desain grafisnya, Amir menjalankan proyek pribadi mengumpulkan huruf-huruf Nastaaliq yang kemudian melahirkan jenis huruf pertamanya bernama “Mirza”, yang mendukung bahasa Arab, Persia, dan Urdu. “Saya memutuskan untuk membuat proyek yang konkret dan merevisi serta merancang ulang semua karakternya karena saya tidak menemukan harmoni antar karakter tersebut,” jelasnya. Mirza dirancang berdasarkan tulisan tangan Mirza Gholam-Reza Esfahani, dan hasil akhirnya merupakan studi mendalam terhadap karya-karya terbaik Mirza yang diproduksi pada dekade terakhir hidupnya. “Bukan soal mengandalkan alat desain, tetapi imajinasi dan pemikiran Anda yang menjadi kunci dalam mengembangkan desain dan idenya. Proyek ini merupakan upaya untuk membayangkan kembali dan membangun ulang huruf-huruf yang selaras dengan harmoni garis-garis yang ditelusuri.” Proses ini menuntut Amir untuk membangun hubungan pribadi dengan karya kaligrafi Mirza, mengumpulkan materi, dan menelusuri ulang seluruh huruf yang tersedia dari model tersebut. Setelah itu, Amir menerapkan logika desainnya sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan kontemporer dalam penggunaan jenis huruf.
“Saya merancang ulang semua karakter yang telah saya telusuri sebelumnya dan mencoba menciptakan kerangka kerja Mirza yang dibuat oleh sumber-sumber saya di usia dan gaya yang sama, dengan proporsi kertas yang sama.” Hasilnya adalah jenis huruf Mirza yang lebih sederhana penggunaannya, tercermin dari pengurangan jumlah karakter dan penyederhanaan sambungan antar huruf, sambil tetap mempertahankan ciri estetika khas dari bentuk kaligrafi Nastaaliq. Amir mengungkapkan bahwa proses ini memakan waktu lebih dari lima sampai enam tahun dan mendapatkan penerimaan positif dari publik Iran. Delapan tahun setelah diperkenalkan, jenis huruf Mirza menjadi salah satu tipe utama Nastaaliq di Iran dan digunakan oleh Pemerintah Kota Teheran untuk keperluan publik seperti baliho dan spanduk kota. Selain itu, para master kaligrafi memberikan apresiasi karena 70% gaya tradisional Nastaaliq dianggap berhasil direpresentasikan dalam jenis huruf Mirza.
Bagi Amir, penting baginya untuk memastikan bahwa jenis huruf yang dirancangnya tetap setia pada bentuk tradisionalnya (baca: skrip kaligrafi). Hal ini menuntutnya untuk memahami konteks penggunaan Nastaaliq di kalangan penutur bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Kami sempat mengira bahwa hal ini terjadi secara organik baginya. “Apakah Anda mampu membaca, berbicara, dan menulis dalam bahasa yang Anda desain?” Kami bertanya. Ia tertawa dan menggelengkan kepala. “Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa Urdu atau Arab, tetapi saya bisa membedakan preferensi gaya penulisan dan kaligrafi mereka. Kemampuan ini memungkinkan saya untuk membingkai proyek sesuai dengan audiens targetnya.” Dengan demikian, Amir mampu memahami pola-pola yang terdapat dalam karakter Nastaaliq di bahasa Arab dan Urdu—cukup untuk menyusun sistem yang menginformasikan desain mereka.
Demi menjaga akurasi kultural, Amir melakukan riset mendalam untuk memahami nuansa sejarah dan budaya, memastikan bahwa desain yang dibuatnya sesuai dengan pemahaman penggunanya. Ketika kami bertanya bagaimana ia mampu menemukan benang merah di antara budaya yang begitu berbeda, Amir menjelaskan bahwa prosesnya selalu dimulai dari studi terhadap budaya manuskrip di masing-masing wilayah: “Elemen kunci yang membantu saya terhubung dengan audiens target adalah pengetahuan saya tentang sejarah kaligrafi dan pendekatan analitis terhadap perbedaan gaya. Saya selalu memulai proyek desain saya dari riset ini.”
Metodologi membaca skrip melalui logika visual dan kultural ini tampak jelas dalam proyek-proyek komisi Amir. Ia memperlihatkan kepada kami desain jenis huruf “Tlesk”, yang dikembangkan untuk label musik Tlesk Records, di mana ia mencoba menyaring lapisan-lapisan sejarah bentuk yang tertanam dalam kaligrafi regional dan arsitektur. Mengambil inspirasi dari kemiripan visual antara gaya kaligrafi Ruqah—yang berasal dari warisan Kesultanan Utsmaniyah dan banyak digunakan di Irak, Suriah, dan Lebanon—dan arsitektur tradisional di Khuzestan, sebuah provinsi di Iran yang menggunakan bahasa Arab, Amir menciptakan jenis huruf yang kontemporer dan hybrid. Tlesk mendukung bahasa Arab, Persia, dan Urdu, namun memperkenalkan intervensi tipografi yang unik: semua huruf disusun di atas garis dasar horizontal, meninggalkan aliran khas Nastaaliq yang mengalir turun.
Kemampuan Amir untuk bereksperimen dengan kaligrafi dan tipografi sangat bertumpu pada pemahamannya terhadap materialitas. Baginya, proses desain dan praktiknya bukan semata-mata tindakan teknis, melainkan tindakan konseptual yang mengungkap pentingnya ekspresi gaya: “Skrip adalah sebuah konsep. Kita memiliki gaya penulisan yang berfungsi sebagai terjemahan visual dari konsep tersebut, di mana tata bahasa skrip menentukan bagaimana huruf-huruf saling berhubungan: bagaimana mereka bertaut, berbenturan, dan berpisah. Sepanjang sejarah perkembangan skrip, kita menemukan berbagai gaya kaligrafi, masing-masing dengan bentuk huruf yang khas, yang melahirkan gaya penulisan spesifik, dan diterapkan secara berbeda di berbagai konteks dan aplikasi.”
Ia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa abstraksi skrip mengungkap kelenturan konteksnya, yang melahirkan kaligrafi-kaligrafi spesifik budaya: “...Di berbagai wilayah, kita memiliki agensi untuk memilih dan memungut elemen Arab dari peradaban Islam, dan mengadopsinya sesuai dengan budaya dan preferensi kita sendiri, yang akhirnya menciptakan gaya kaligrafi yang mapan dan disesuaikan dengan manuskrip dan penulisan di masing-masing wilayah. Cerita ini juga berlaku di negara-negara lain dalam hubungannya dengan peradaban Islam.” Falsafah ini dieksplorasi melalui proyek desain dan riset terbarunya, “Mehraban”, sebuah koleksi jenis huruf yang mencakup skrip Book Pahlavi, Avestan, dan Arab. Dikembangkan sebagai bagian dari program riset Missing Scripts di ANRT, Amir membagikan bahwa tujuan dari proyek ini adalah untuk merancang jenis huruf pertama untuk Book Pahlavi dan pasangannya.
Amir memulai proyek ini dengan menelusuri kembali sejarah sistem linguistik di Iran pra-Islam dan mencatat bahwa bahan referensinya sangat langka: “Kami tidak memiliki manuskrip yang tersisa dari era tersebut, namun yang kami miliki adalah manuskrip yang diproduksi oleh komunitas imigran Iran—yang beragama Zoroastrian—di India. Book Pahlavi menjadi kompilasi manuskrip yang selamat dari era tersebut, yang berasal dari abad ke-14, dan berfungsi sebagai dokumen keagamaan.” Dengan sumber arsip yang terbatas, Amir mengandalkan rekonstruksi imajinatif, bekerja sama erat dengan seorang akademisi di Universitas Oxford yang menguasai tata bahasa Book Pahlavi. Kolaborasi ini memungkinkannya membedakan nuansa gaya dan mempersiapkan bahan desain dari manuskrip yang tersisa (meskipun terfragmentasi). Jenis huruf Book Pahlavi yang dihasilkan dirancang sebagai alat bantu untuk penelitian akademis dan linguistik, serta diposisikan sebagai jembatan tipografi yang memfasilitasi pembacaan teks-teks dan manuskrip dari era tersebut.
Melanjutkan dari fondasi ini, Amir merancang varian Avestan dan Persia Tengah untuk mendukung ekosistem teks yang lebih luas. Ia mencatat keberadaan gaya Nastaaliq yang berbeda dari estetika halus Nastaaliq arus utama: “Kualitas bentuk hurufnya tidak sehalus Nastaaliq arus utama yang dipraktikkan di Iran dan Pakistan. Sebenarnya, ini adalah Nastaaliq milik kaum minoritas, di mana konteks perkembangan kaligrafi mereka berbeda karena menghadapi banyak keterbatasan dan kesulitan akibat kurangnya dukungan finansial. Tujuan mereka hanya untuk mencatat manuskrip tersebut, bukan demi kenikmatan estetika dalam menciptakan bentuk huruf yang halus. Nastaaliq ini diciptakan untuk menjaga kelangsungan komunitas mereka.” Memahami konteks sosio-kultural ini, Amir merancang jenis huruf Avestan sebagai pasangan yang melengkapi abjad terhubung Book Pahlavi, sehingga membentuk kesinambungan yang harmonis dalam koleksi Mehraban. Sensibilitas ini kemudian diperluas—dan diselesaikan—melalui desain skrip Arab dalam Mehraban, yang menginterpolasi ritme cair dari karakter Nastaaliq arus utama, sembari menarik akar kaligrafis Amir sendiri.
Dengan portofolio yang memosisikannya sebagai arsiparis, desainer, dan linguis, kami pun bertanya-tanya apa langkah selanjutnya dalam perjalanan Amir di dunia tipografi. Setiap proyek Amir, dari Mirza hingga Mehraban, merupakan tindakan teliti untuk menuliskan kembali bentuk-bentuk yang terabaikan ini ke dalam kesadaran tipografi, mengedepankan kompleksitas material, kultural, dan historis yang seringkali terabaikan oleh kerangka desain arus utama. Dalam refleksi atas dedikasinya yang panjang, Amir berkata: “Saya menganggap diri saya seorang misionaris Nastaaliq di dunia tipografi. Mengelola gaya Nastaaliq—gaya asli Nastaaliq—dari Mesir hingga Pakistan adalah fokus utama riset kami. Kami tertarik mengidentifikasi berbagai gaya Nastaaliq dan bentuk huruf-huruf uniknya.” Saat ini, Amir berbasis di Hamburg dan tengah mengejar studi doktoralnya tentang inskripsi pada arsitektur masjid-masjid di Iran, memeriksa bagaimana bentuk-bentuk tersebut berfungsi sebagai alat propaganda visual.
Di luar penelitian akademisnya, Amir terus merawat kegelisahannya terhadap Nastaaliq, sembari menyebutkan beberapa proyek baru yang akan segera diumumkan ke publik. Percakapan kami dengannya membangkitkan kembali kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diemban oleh para desainer huruf non-Latin: untuk menciptakan akses, melestarikan warisan budaya, dan membentuk bagaimana bahasa hidup dan bergerak di ranah digital. Karya Amir mengingatkan kita bahwa setiap jenis huruf memuat kisah yang mewujud dalam sejarah, identitas, dan komunitas. Di tengah perkembangan lingkungan digital yang terus bertransformasi, kami pun bertanya-tanya: berapa banyak lagi aksara, kisah, dan nuansa gaya yang masih tertinggal di pinggiran, menanti desainer-desainer seperti Amir untuk mengangkatnya ke permukaan?