Kertas, Cetak, dan Proses: Kilas Balik NSight Vol. 2
Akhir pekan lalu (23/08), kami berkesempatan menghadiri NSight Vol. 2, sebuah pertemuan yang menghadirkan dialog lintas budaya antara para kreatif Indonesia dan Italia seputar kertas, percetakan, dan penerbitan. Mengusung tema “Italian-Indonesian Design Mingle”, NStudio bekerja sama dengan produsen kertas Italia Fedrigoni untuk menyelenggarakan rangkaian diskusi yang mengeksplorasi konteks, keluaran, dan praktik dari kedua negara. Program ini menawarkan wawasan mendalam mengenai perbedaan sekaligus persinggungan dalam lanskap desain dan penerbitan mereka. Setiap sesi diawali dengan presentasi dari para pembicara, lalu dilanjutkan sesi tanya jawab bersama moderator Nina Sharafina dan audiens. Acara ini berlangsung dalam format hibrida, menggabungkan partisipasi langsung di Gripastudio Jakarta dengan kehadiran daring, sehingga dapat diakses oleh peserta dari Indonesia maupun internasional.
NSight dibuka dengan diskusi pertama berjudul “Paper in Sustainable Practice”, menampilkan Fedrigoni (IT) dan Andreas Junus dari The 1984 (ID). Sesi ini menekankan pentingnya keberlanjutan dalam membentuk praktik desain, percetakan, dan penerbitan di Italia maupun Indonesia. Fedrigoni memaparkan bahwa keberlanjutan kini sudah menjadi praktik umum di kalangan kreatif Eropa, meskipun masih ada hambatan ekonomi yang membatasi akses terhadap material kertas berkelanjutan. Pernyataannya meninggalkan refleksi bagi audiens mengenai isu aksesibilitas dan kesetaraan dalam praktik penerbitan berkelanjutan.
Andreas kemudian mengaitkan pembahasan dengan konteks Indonesia, di mana kurangnya dukungan infrastruktur telah lama menghambat inisiatif percetakan berkelanjutan. Ia menyoroti preferensi pemerintah terhadap percetakan berbasis minyak, yang semakin memperlebar kesenjangan bagi alternatif ramah lingkungan. Menyadari hal tersebut, The 1984 mengambil langkah mandiri dengan mengadopsi praktik keberlanjutan melalui eksplorasi material, desain kemasan, desain editorial, serta upcycling atau daur naik. Bagi Andreas, keberlanjutan dimulai dari upaya-upaya kecil yang penuh niat. “Setiap usaha itu berharga,” ujarnya, “sekecil apa pun.”
Siang hari berlanjut dengan sesi “Pages in Print” yang menghadirkan Margherita Rubini (IT) dan Jordan Marzuki (ID). Keduanya membagikan pendekatan mereka dalam merancang buku seni. Margherita, seorang desainer grafis terlatih, menegaskan keyakinannya bahwa desain harus menghadirkan makna, bukan sekadar berdiri sendiri. Ia menjabarkan proses kerjanya melalui studi kasus, termasuk katalog Frida Kahlo, di mana ia berupaya menciptakan alur ritmis antara teks dan visual demi memperkaya pengalaman membaca.
Jordan, sebaliknya, menuturkan perjalanan tidak lazimnya menuju dunia penerbitan setelah ditolak oleh penerbit lokal saat ingin mencetak buku berisi gambar masa kecilnya. Dari penolakan tersebut lahirlah praktik penerbitannya sendiri—dikenal sebagai “subtle publishing”—yang berdampak besar dalam membahas isu-isu kritis di Indonesia. Ia menekankan bahwa prosesnya selalu digerakkan oleh apa yang terasa “mungkin dilakukan,” sambil tetap mengupayakan kualitas tertinggi. Salah satu proyek pentingnya, A Kind of Magic, yang semula direncanakan sebagai buku foto, berkembang menjadi publikasi kolektif multi-medium yang mengangkat sejarah sulit etnis Tionghoa-Indonesia pada kerusuhan 1998. Respons emosional masyarakat ketika buku tersebut diluncurkan membuat Jordan sangat terharu.
Diskusi pun bergeser pada isu pendanaan. Jordan dengan jujur menyampaikan tantangan menjaga keberlanjutan penerbit independen di Indonesia, yang sering kali harus bergantung pada dana pribadi atau hibah internasional. Kondisi ini sangat berbeda dengan para penerbit di Eropa yang mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Margherita menanggapi dengan empati, mengakui bahwa posisinya sebagai desainer grafis komisioner membebaskannya dari beban tersebut, sembari memuji keberanian Jordan dalam menghadirkan kisah-kisah penting di lanskap Indonesia.
Sesi terakhir, “Press and Process”, mempertemukan Andrea dari Atto (IT) dan Irawandhani Kamarga dari Binatang Press/The 1984 (ID). Diskusi ini terasa lebih intim karena keduanya berbagi kisah personal tentang perjalanan kreatif mereka. Andrea menceritakan evolusi Atto yang merambah berbagai bidang seperti arsitektur, fesyen, hingga F&B, dengan eksperimen material sebagai ciri khas. Salah satu anekdot menarik adalah kisah ilustrasi spray paint untuk NABA Design 2020, yang sempat menuai kritik dari komunitas graffiti. Bagi Andrea, kritik adalah bagian penting dari pertumbuhan.
Kisah Irawandhani justru berakar pada keluarga dan kenangan. Terinspirasi pamannya yang juga seorang desainer grafis dengan metode cetak eksperimental, ia menelusuri minat desain sejak masa kecil. Ia menekankan pentingnya proses, mentoring, dan disiplin, bahkan menyamakan studionya dengan sebuah dojo bagi para kreatif muda untuk dapat mengasah kemampuan secara serius. “Setiap orang bisa mencetak,” ujarnya, “tapi bagaimana kamu mencetak itu sangat penting.” Presentasi portofolio Binatang Press melalui video singkat menegaskan semangat eksperimental studio ini—penuh kontras namun berakar pada budaya Indonesia.
Diskusi ditutup dengan pertanyaan tentang relevansi kerja manual di era digital. Andrea dan Irawandhani sama-sama skeptis terhadap ketergantungan berlebihan pada teknologi. Andrea menyebut penggunaan tangan sebagai tindakan intuitif yang tak tergantikan, sementara Irawandhani mengkhawatirkan pendidikan desain di Indonesia yang terlalu fokus pada perangkat digital hingga mengabaikan keterampilan manual. Keduanya sepakat bahwa desain bukan sekadar soal teknologi, melainkan kerajinan yang berakar pada sentuhan dan kepekaan manusia.
Secara keseluruhan, NSight tahun ini memicu refleksi mendalam tentang peran desain sebagai kerajinan sekaligus ruang dialog. Ia mengingatkan bahwa di balik estetika bentuk dan fungsi, desain juga menyangkut nilai, proses, dan kisah yang kita pilih untuk diceritakan. Pertukaran antara kreatif Indonesia dan Italia memperlihatkan bagaimana konteks budaya membentuk praktik yang berbeda, sekaligus bagaimana perjuangan yang sama—baik dalam isu keberlanjutan, pendanaan, maupun pendidikan—menciptakan titik temu. Dengan saling mendengar, kita menemukan bukan hanya perbedaan yang membuat praktik kita unik, tetapi juga kesamaan yang memperkuat komunitas kreatif global.
Foto-foto oleh @theworkhouse_.